Perihal Kepergian

Kepergian seseorang kerap menimbulkan luka. Luka yang ditorehkan tak kunjung rampung, meskipun waktu terus berjalan sementara diriku masih saja berada dalam tahap pemulihan. Iya, tahap pemulihan. Memulihkan diri yang masih saja merasa sendu pada waktu tertentu, terlebih ketika sedang mengingat hal-hal di masa lalu.
Tak jarang terlintas pada benakku perihal rasa bersalah. Rasa yang tak pernah membiarkan diriku hidup dengan bebas. Seringkali aku menyalahkan diri. Merutuk keadaan setiap kali orang-orang melangkah pergi. Aku merasa seakan hidupku ini hanya sebuah tempat untuk singgah, yang pada akhirnya juga akan ada yang berpisah. Aku menyalahkan diri sendiri karena aku merasa frustasi. Aku frustasi karena aku tidak dapat mengendalikan keadaan ini.
Dalam hidupku, sudah terdapat banyak sekali orang yang berlalu lalang. Kepergian mereka cukup berhasil membuat rasa percaya diriku hilang. Aku menjadi takut untuk sekadar berteman. Takut jika mereka hanya bertahan sesaat, lalu pergi meninggalkan. Entah apa alasan di balik mereka pergi, aku takut jika alasan itu adalah diriku sendiri. Aku takut jika aku tidaklah cukup baik di mata mereka.
Dahulu, aku sempat merasa benci terhadap orang-orang yang pergi. Aku sempat mengumpat dalam hati kepada mereka yang pergi tanpa memberikan alasan kepada diriku ini. Pada saat itu, aku belum memahami sepenuhnya perihal mengapa seseorang bisa melangkah pergi dari kehidupan.
Aku mulai memahaminya ketika ada seseorang dalam hidupku pergi namun bukan karena kehendaknya untuk pergi. Ia ingin tetap berada di sini, namun Tuhan berkehendak lain. Aku takkan dapat bertemu dengannya lagi. Aku hanya bisa memandang batu nisan dan membacakan doa agar dirinya tenang di alam sana.
Sejak saat itu, aku percaya bahwa kepergian seseorang itu merupakan hal yang lumrah. Hal yang pasti akan terjadi karena semua insan adalah fana. Semua insan hanya tinggal untuk sementara.
Sejak saat itu, aku berkata pada diriku. Setiap orang yang datang ke dalam hidupku memiliki jangka waktu mereka masing-masing. Entah untuk berbagi duka yang dapat dijadikan sebagai pelajaran hidup, entah itu untuk berbagi kebahagiaan, entah itu sekadar bertemu di jalan, bahkan ditakdirkan untuk menemani hingga maut memisahkan.
Kini, aku ikhlas. Aku ikhlas dengan ketentuan takdir perihal jangka waktu orang-orang di dalam hidupku. Mulai saat ini, aku hanya ingin agar aku dapat melakukan yang terbaik dan menjadi orang yang baik di dalam kehidupan setiap orang yang aku temui.
Aku melakukan itu karena aku hanya ingin diingat sebagai orang yang baik atau orang yang bermanfaat dalam kehidupan seseorang. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan.
Kelak, saat aku dan orang-orang yang berada di dalam hidupku dipisahkan oleh takdir, aku ingin mereka mengingatku sebagai seseorang yang berarti. Aku ingin waktu yang telah hilang berubah menjadi kenangan terbaik, baik untukku maupun untuk mereka.

— a.a.d
#12LettresAA
PHOSPHENOUS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Z

Doa yang Terkabul atau Hati yang Lapang?